Jumat, 26 Juni 2009

Haji Minus Kesalehan Sosial?


Banyak yang bilang, umat Islam Indonesia lebih gereget mengerjakan ibadah haji ketimbang berzakat. Padahal, secara hierarkis, perilaku berzakat seharusnya lebih diutamakan ketimbang berhaji.

Kesimpulan seperti di atas tidak sepenuhnya salah. Sebab, memang ibadah haji lebih menitikberatkan pada dimensi vertikal, antara al-Khaliq dengan al-makhluq saja, bukan dimensi sosial layaknya zakat. Jelas, zakat sangat bernuansa sosial karena kita langsung berinteraksi dengan masyarakat. Kita dapat membayangkan sebagian di antara kita yang punya program haji tiap tahun, misalnya. Haji dilakukan berkali-kali.

Tujuannya, apa lagi, kalau bukan untuk ibadah kepentingan pribadi. Tidak ada sejarahnya, berhaji untuk kepentingan masyarakat, misalnya supaya masyarakat menjadi makmur atau sejahtera. Bahkan, lebih jauh lagi, mereka hanya bertujuan mengoleksi titel sosial yang sama sekali tidak membantu memerangi dan mengentaskan kemiskinan yang menyedihkan di sekitar kita.

Dalam tradisi fikih, model ibadah dibedakan menjadi tiga kategori. Pertama, ibadah badaniyyah, yakni ibadah yang sepenuhnya mengandalkan aspek kekuatan badan, seperti salat dan puasa. Untuk melakukannya, kita hanya membutuhkan kekuatan fisik. Kita tidak perlu membayar upeti untuk melakukan keduanya.

Kedua, ibadah maliyah, yakni ibadah yang hanya dapat dilakukan dengan sarana uang, seperti zakat. Kita tidak memerlukan kekuatan fisik untuk melakukannya. Kita hanya membutuhkan harta (dan sebagian di antara kita yang mengerjakan haji berkali-kali pasti memiliki aspek ini).

Ketiga, ibadah maliyah-badaniyyah, yakni model ibadah yang hanya bisa dilakukan kala kita memiliki kekuatan fisik dan harta, seperti ibadah haji. Dalam Alquran disebutkan bahwa untuk menunaikan haji, disyaratkan adanya istitha’ah (kemampuan), yakni istitha’ah fisik dan harta. Tanpa adanya kesatuan antara kedua hal itu, mustahil kita dapat melaksanakannya.

Bila kita cermati tiga model ibadah di atas satu per satu, kita akan menemukan kesimpulan bahwa dimensi ibadah model pertama sangat bersifat individualistik. Yakni lebih menekankan hubungan antara Sang Khalik dan sang makhluk. Apalagi dalam kasus puasa. Firman Allah ini menunjukkan betapa sangat pribadi model ibadah tersebut.

Dimensi ibadah model kedua, zakat, jelas sekali bernuansa sosial. Sebab, dengan berzakat, berarti kita turut memikirkan dan mencoba mengentaskan kemiskinan atau minimal berbagi rasa dengan golongan wong-wong alit.

Sementara itu, ibadah model ketiga, sebagaimana model pertama, juga lebih bersifat individualistik. Manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunya. Orang lain tidak merasakan apa pun, kecuali nasi tumpeng, yang hakikatnya juga ditujukan hanya untuk kepentingan keselamatannya dalam menjalankan ibadah haji.

Nah, di antara tiga model ibadah di atas, manakah yang utama? Tentu ketiganya sama-sama utama. Hanya, bila kita berpikir menggunakan konsep skala prioritas, kita akan mengatakan bahwa ibadah yang berdimensi sosiallah yang paling utama. Itu tidak bisa dipungkiri.

Mengapa? Sebab, ibadah model itu, selain bernuansa sosial, juga mengandung dimensi vertikal. Sebab, mustahil kita melakukannya tanpa dilandasi unsur keimanan kepada Tuhan. Sebaliknya, nuansa sosial sulit (atau bahkan tidak dapat) ditemukan pada model ibadah vertikal, seperti salat, puasa, maupun haji. Kalaupun ada, hal itu sebatas imbas saja, tidak terjadi secara langsung.

Dalam tradisi Ushul al-Fiqh dikatakan, al-muta’addy afdhal min al-qashir (ibadah yang manfaatnya dirasakan orang lain itu lebih utama ketimbang ibadah yang manfaatnya hanya dirasakan sendiri). Ibadah model ini hanya dapat kita rasakan melalui media zakat. Syukur-syukur, idealnya, kita dapat melakukan semuanya dengan seimbang.

Karena itu, kesalehan sosial (spiritual centrifugal) sudah seharusnya kita kedepankan ketimbang kesalehan individual (spiritual centripetal). Karena itu pula, Murtadla Muthahhari, pemikir muslim terkemuka asal Iran, pernah bertanya dalam nada menggugat, "Apakah rahib-rahib atau sufi-sufi yang hanya duduk-duduk di pojok masjid seraya memutar tasbih yang akan masuk surga, padahal hal itu dilakukan hanya untuk dirinya sendiri? Sementara Thomas Alfa Edison, si jenius penemu listrik, yang hasil temuannya dimanfaatkan orang sepanjang zaman, akan masuk neraka?"

Patut kita merenungkan secara mendalam gugatan Muthahhari tersebut. Pada prinsipnya, dia menggugat tradisi keagamaan yang hanya mementingkan aspek individual, tanpa pernah menyentuh aspek sosial.

Kita ingat, Nabi Musa AS pernah bertanya kepada Tuhan. "Di manakah aku dapat menemukan Engkau, ya Allah?" tanya Musa. "Temukan diriku dalam diri orang-orang yang papa," jawab Allah. Dari situ jelas sekali bahwa kesadaran humanistis sangatlah penting dalam kehidupan kita.

Bila kita mengaitkan kenyataan di atas dengan perilaku keberagamaan kita, umat Islam Indonesia, kita patut bertanya, apa yaang terjadi dengan kita? Kenapa kita lebih mementingkan diri sendiri (individualisme) ketimbang orang lain (altruisme). Barangkali karena kita sudah sedemikian parah dininabobokan oleh simbol-simbol keagamaan yang sangat literalistik. Kita tidak pernah berpikir tentang esensi simbol-simbol itu.

Dr Komarudin Hidayat punya tamsil sendiri tentang hal itu. Dia mengibaratkan simbol keagamaan sebagai sangkar burung, sementara esensi simbol itu sebagai burungnya. Saat ini, menurut dia, kita lebih senang mengelus-elus sangkarnya ketimbang memikirkan burungnya. Karena keenakan ngurusi sangkarnya, kita pun lupa pada isinya.

Selain itu, tampaknya kita lebih senang dilihat oleh masyarakat dalam konteks strata sosial. Kita lebih bahagia dan bangga mantasarufkan harta kita untuk mengoleksi titel-titel sosial, seperti haji, ketimbang mengoleksi kebaikan-kebaikan sosial.

Padahal, dalam sejarah, Nabi SAW hanya berhaji sekali, lainnya semata umrah. Toh, memang yang wajib hanya sekali. Atau barangkali hal ini disebabkan minat traveling kita sedemikian tinggi sehingga kerap kita mendengar istilah wisata spiritual. Istilah yang mengasyikkan, tapi sebenarnya tidak lebih dari jalan-jalan semata.

Melihat kenyataan di atas, sudah saatnya kita mengubah perilaku keagamaan kita, dari perilaku individualisme menuju altruisme. Dari simbol ke esensi. Dari sangkar ke burung. Kita harus memulainya saat ini juga. Tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Jadikan "perilaku ganjil" kita di masa lalu sebagai wahana introspeksi. Ingat, masih banyak orang-orang kecil di sekeliling kita yang sangat membutuhkan uluran tangan kita. Mereka hanya membutuhkan bantuan kita, bukan Pak Haji yang tidak sudi membantu mereka. Wallallahu a’lam.[]

Nasihat untuk Para Pemimpin Politik

PDF Cetak

PDF Cetak E-mail

“Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan pandangan yang tajam.” (Surat Khalifah Ali r.a. kepada Gubernur Mesir)

JABATAN politik saat ini menjadi tren dan rebutan jutaan orang dan partai politik. Kampanye lewat spanduk, brosur, kartunama, facebook, email bertebaran di dunia nyata maupun dunia maya. Salah satu sisi, hal itu menambah ketidaksedapan keindahan tata kota, tapi di sisi lain hal itu tidak bisa dihindari, karena peraturan negara lewat KPU sendiri dibuat untuk memubahkan hal-hal seperti itu.

Tentu ketika mencalonkan menjadi caleg, cabup, cagub atau capres, mereka mempunyai mimpi-mimpi indah untuk diri mereka. Kita tidak tahu apakah mereka mempunyai mimpi indah juga untuk konstituen atau masyarakatnya. Misalnya bila dihadapkan pada kondisi krisis, siapa yang dikorbankan dirinya atau rakyatnya, kita tidak tahu apa yang ada dalam benak mereka.

Para ulama dan pemimpin-pemimpin Islam dalam sejarah, telah memberikan nasehat yang berharga tentang masalah ini. Diantaranya adalah nasihat khalifah keempat yang mulia Ali bin Abi Thalib kepada gubernur Mesir Malik bin Harits al Asytar, pada tahun 655M. Nasihat ini berisi prinsip-prinsip dasar tentang pengelolaan atau manajemen sebuah pemerintahan, organisasi dan lain-lain.

Menurut Profesor A Korkut Özal dari Turki, pada perkembangan selanjutnya ternyata surat ini memberi banyak inspirasi bahkan menjadi bahan acuan bagi banyak pemimpin, melintasi ruang dan waktu. Tercatat, ia mampu melintasi Eropa di masa Renaissance bahkan Edward Powcock (1604-1691), profesor di Universitas Oxford, menerjemahkan surat ini ke dalam bahasa Inggris untuk pertama kalinya dan pada 1639 disebarkan melalui serial kuliahnya yang disebut Rhetoric.

Berikut cuplikan nasehat-nasehat Sayyidina Ali r.a. yang sangat berharga itu:

“Ketahuilah wahai Malik bahwa aku telah mengangkatmu menjadi seorang Gubernur dari sebuah negeri yang dalam sejarahnya berpengalaman dengan pemerintahan-pemerintahan yang benar maupun tidak benar. Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan pandangan yang tajam.

Mereka akan bicara tentangmu, sebagaimana kau bicara tentang mereka. Sesungguhnya rakyat akan berkata yang baik-baik tentang mereka yang berbuat baik pada mereka. Mereka akan ‘menggelapkan’ semua bukti dari tindakan baikmu. Karenanya, harta karun terbesar akan kau peroleh jika kau dapat menghimpun harta karun dari perbuatan-perbuatan baikmu. Jagalah keinginan-keinginanmu agar selalu di bawah kendali dan jauhkan dirimu dari hal-hal yang terlarang. Dengan sikap yang waspada itu, kau akan mampu membuat keputusan di antara sesuatu yang baik atau yang tidak baik untuk rakyatmu.

Kembangkanlah sifat kasih dan cintailah rakyatmu dengan lemah lembut. Jadikanlah itu sebagai sumber kebijakan dan berkah bagi mereka. Jangan bersikap kasar dan jangan memiliki sesuatu yang menjadi milik dan hak mereka. Sesungguhnya manusia itu ada dua jenis, yakni orang-orang yang merupakan saudara seagama denganmu dan orang-orang sepertimu.

Mereka adalah makhluk-makhluk yang lemah, bahkan sering melakukan kesalahan. Bagaimanapun berikanlah ampun dan maafmu sebagaimana engkau menginginkan ampunan dan maaf dari-Nya. Sesungguhnya engkau berada di atas mereka dan urusan mereka ada di pundakmu. Sedangkan Allah berada di atas orang yang mengangkatmu. Allah telah menyerahkan urusan mereka kepadamu dan menguji dirimu dengan urusan mereka.

Janganlah engkau persiapkan dirimu untuk memerangi Allah, karena engkau tidak mungkin mampu menolak azab-Nya dan tidak mungkin dirimu akan meninggalkan ampunan dan rahmat-Nya.

Janganlah pernah menyesal atas ampunan yang kau berikan. Begitupun janganlah bergembira dengan sebuah hukuman. Jangan pula tergsa-gesa memutuskan atau melakukan semata karena emosi, sementara engkau sebenarnya dapat memperoleh jalan keluar.

Jangan katakan:”Aku ini telah diangkat menjadi pemimpin, maka aku bisa memerintahkan dan harus ditaati”, karena hal itu akan merusak hatimu sendiri, melemahkan keyakinanmu pada agama dan menciptakan kekacauan dalam negerimu. Bila kau merasa bahagia dengan kekuasaan atau malah merasakan semacam gejala rasa bangga dan ketakaburan, maka pandanglah kekuasaan dan keagungan pemerintahan Allah atas semesta, yang kamu sama sekali tak mampu kuasai. Hal itu akan meredakan ambisimu, mengekang kesewenang-wenangan dan mengembalikan pemikiranmu yang terlalu jauh.

Jangan sampai engkau melawan Allah dalam keagungan-Nya dan menyerupai-Nya dalam keperkasaan-Nya. Sesungguhnya Allah akan merendahkan setiap orang yang angkuh dan menghinakan setiap orang yang sombong.

Senantiasa belajarlah segala sesuatu hal pada mereka yang memiliki pengalaman yang matang dan penuh kebijakan. Seringlah bertanya pada mereka tentang hal-hal kenegaraan sehingga engkau dapat mempertahankan kebaikan dan perdamaian yang oleh para pendahulumu sudah pernah ditegakkan.

Tajamkanlah matamu pada orang-orang yang sejak dulu atau sekonyong dekat denganmu, akan cenderung menggunakan posisinya untuk mengambil atau mengorupsi milik dan hak orang lain dan siap berlaku tidak adil. Tekanlah sedalamnya kecenderungan seperti itu.

Buatlah peraturan-peraturan di bawah kendalimu yang tidak memberi kesempatan sekecil pada kerabatmu. Hal itu akan mencegah mereka melakukan kekerasan pada hak orang lain dan menghindarkanmu dari kehinaan di depan Allah dan manusia umumnya.”

Menarik juga membaca surat wasiat Sultan Muhammad al Fatih (831 M) kepada anaknya. Al Fatih oleh para ulama dan sejarawan Islam disebut sebagai penakluk Konstatinopel. Ia adalah laki-laki yang disebut Rasulullah saw sebagai : “Konstatinopel akan bisa ditaklukkan di tangan seorang laki-laki . Maka orang yang memerintah di sana adalah sebaik-baik penguasa dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara.” (HR Ahmad)

Dr. Ali Muhammad as Shalabi mengemukakan sifat-sifat mulia Muhammad al Fatih. Sifat-sifat itu adalah: perhatian yang tinggi terhadap universitas dan sekolah, kepeduliannya yang besar terhadap para ulama, perhatiannya terhadap penyair dan sastrawan, kepeduliannya terhadap penerjemahan buku-buku, perhatiannya terhadap pembangunan dan rumah sakit, kepeduliannya terhadap perdagangan dan industri, perhatiannya terhadap masalah administrasi, kepeduliannya terhadap tentara dan armada laut dan komitmennya pada keadilan.

Masih ada yang lain, cuplikan dari nasehat sang penakluk Konstatinopel (Turki) itu:

“Tak lama lagi aku akan menghadap Allah SWT. Namun aku sama sekali tidak merasa menyesal, sebab aku meninggalkan pengganti seperti kamu. Maka jadilah engkau seorang yang adil, saleh dan pengasih. Rentangkan perlindunganmu terhadap seluruh rakyatmu tanpa perbedaan. Bekerjalah kamu untuk menyebarkan agama Islam sebab ini merupakan kewajiban raja-raja di bumi. Kedepankan kepentingan agama atas kepentingan lain apapun. Janganlah kamu lemah dan lengah dalam menegakkan agama. Janganlah kamu sekali-kali memakai orang-orang yang tidak peduli agama menjadi pembantumu. Jangan pula kamu mengangkat orang-orang yang tidak menjauhi dosa-dosa besar dan larut dalam kekejian. Hindari bid’ah-bid’ah yang merusak. Jauhi orang-orang yang menyuruhmu melakukan itu. Lakukan perluasan negeri ini melalui jihad. Jagalah harta baitul mal jangan sampai dihambur-hamburkan. Jangan sekali-kali engkau mengulurkan tanganmu pada harta rakyatmu kecuali itu sesuai dengan aturan Islam. Himpunlah kekuatan orang-orang yang lemah dan fakir, dan berikan penghormatanmu kepada orang-orang yang berhak.

Oleh sebab ulama itu laksana kekuatan yang harus ada di dalam raga negeri, maka hormatilah mereka. Jika kamu mendengar ada seorang ulama di negeri lain, ajaklah dia agar datang ke negeri ini dan berilah dia harta kekayaan. Hati-hatilah jangan sampai kamu tertipu dengan harta benda dan jangan pula dengan banyaknya tentara. Jangan sekali-kali kamu mengusir ulama dari pintu-pintu istanamu. Janganlah kamu sekali-kali melakukan satu hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Sebab agama merupakan tujuan kita, hidayah Allah adalah manhaj (pedoman) hidup kita dan dengan agama kita menang.

Ambillah pelajaran ini dariku. Aku datang ke negeri ini laksana semut kecil, lalu Allah karuniakan kepadaku nikmat yang demikian besar ini. Maka berjalanlah seperti apa yang aku lakukan. Bekerjalah kamu untuk meninggikan agama Allah dan hormatilah ahlinya. Janganlah kamu menghambur-hamburkan harta negara dalam foya-foya dan senang-senang atau kamu pergunakan lebih dari yang sewajarnya. Sebab itu semua merupakan penyebab utama kehancuran.”

Karena kemuliaan Muhammad al Fatih ini, sehingga menjadi pemimpin besar dalam sejarah Islam. Bisakah pemimpin politik kita besikap seperti itu? Wallahu aziizun hakiim.*


Rabu, 24 Juni 2009

Bagaimana Menjadi Hafidz Qur'an




Bagaimana menjadi Hafidz Qur’an? Sebenarnya langkahnya sederhana saja. Ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan. Langkah Pertama: membangun kecintaan terhadap Al Qur’an.

Bila kecintaan terhadap Al Qur’an sudah dimiliki, insya Allah menjadi hafidz Qur’an bukan lagi angan-angan. Percaya atau tidak, silahkan membuktikannya sendiri! Namun bila kecintaan terhadap Al Qur’an belum dimiliki, proses menuju hafidz Qur’an akan jadi terhambat, terseok-seok atau bahkan berhenti ditengah jalan.

Kenapa demikian? Karena memang rasa cinta terhadap sesuatu itu merupakan energi motivasi yang paling dahsyat. Dengan cinta seorang akan mau berlama-lama dengan Al Qur’an. Dengan cinta pula seorang penghafal Qur’an akan rela mengorbankan waktunya untuk berinteraksi dengannya. Bahkan bagi orang yang sudah cinta berat sama Al Qur’an, tidak ketemu Al Qur’an satu hari saja menjadi masalah baginya. Rasanya ada yang kurang, seperti ada yang hilang, hati menjadi resah, gelisah, marah-marah, bahkan bisa sakit parahh!

Karenanya, untuk sukses menjadi hafidz Qur’an kita perlu menumbuhkan rasa cinta terhadap Al Qur’an. Masalahnya, bagaimana caranya agar kita mencintai Al Qur’an? Seorang akan mencintai sesuatu manakala yang bersangkutan mengetahui manfaat dari sesuatu itu.

Karenanya, kita perlu mengetahui manfaat Al Qur’an dalam hidup dan kehidupan ini. Atau istilahnya kita perlu tau fadhilah-fadhilah (keutamaan-keutamaan) Al Qur’an. Baik keutamaan di dunia maupun di akhirat kelak.

Pembaca yang budiman,
Banyak dalil, baik Al Qur’an maupun hadits, yang menjelaskan mengenai keutamaan-keutamaan Al Qur’an. Misalnya, ”Sebaik-baik kalian adalah yang belajar dan mengajarkan Al Qur’an” (HR Bukhari). Pembaca bisa membatu saya mencarikan dalil-dalil lainnya.

Bagi saya, Al Qur’an merupakan penyejuk hati. Tatkala hati ini sedang gelisah atau sedih maka Al Qur’an seolah-olah menjadi air sejuk yang menyirami tanah yang gersang. Begitu sejuk dan begitu nikmatnya. Didalamnya kita akan menemukan petunjuk/’ibrah/hikmah/prinsip untuk mengambil keputusan dalam menjalani kehidupan.

Pembaca yang budiman,
Sebaliknya, orang akan mencintai/termotivasi untuk melakukan sesuatu manakala seseorang tersebut mengetahui akan akibat negatif bila tidak melakukan sesuatu tersebut. Mengenai hal ini ada juga dalil-dalil yang menjelaskannya. Pembaca juga bisa membatu saya mencarikannya.

Pendek kata, salah satu cara untuk menumbuhkan kecintaan terhadap Al Qur’an adalah dengan mengetahui manfaat (efek positif) dari berinteraksi dengannya (termasuk menghafalnya) dan mudharat (efek negatif) bila meninggalkannya.

Nah, pembaca yang budiman,
Sekarang ambil secarik kertas, kemudian beri garis ditengahnya. Disebelah kiri garis, isikan manfaat yang akan didapat dari menghafal Qur’an. Sedangkan disebelah kanan garis, silahkan isi dengan dampak buruk (mudharat) yang terjadi jika tidak menghafal Al Qur’an. Setelah selesai ditulis semuanya, tempel kertas tersebut ditempat yang mudah terlihat. Agar kita selalu mengingat-ingatnya. Aksi ini akan membantu kita untuk semakin mencintai Al Qur’an.

Oya, selain itu juga yang tidak boleh dilupakan adalah Do’a. Mintalah kepada Allah agar Dia menyemaikan benih-benih cinta di hati kita agar mencintai Al Qur’an. Mintalah kepada-Nya setiap hari. Mintalah dengan sungguh-sungguh dan penuh harap.

Sungguh menarik pernyataan dari seorang Ustadz, kata beliau, ”Banyak orang yang merengek-rengek kepada Allah agar Allah memberikan harta, suami/istri yang shalih/ah, jabatan dst. Namun sedikit orang yang merengek-rengek kepada Allah agar Allah memberikan kecintaan dengan Al Qur’an”

Sobat pembaca yang budiman,
Memang kita perlu argumenati kuat untuk menjawab pertanyaan, ”Mengapa harus menghafal Al Qur’an?” Sebenarnya tulisan diatas adalah jawaban dari pertanyaan tersebut.